Di tengah hiruk pikuk kota modern dan padatnya permukiman, sedikit yang tahu bahwa Palembang pernah menjadi rumah bagi kawanan gajah Sumatera. Cerita tentang hewan besar itu masih hidup dalam nama sebuah kelurahan di Kecamatan Sematang Borang, wilayah yang kini dinamakan Lebong Gajah.
Nama itu bukan sekadar sebutan geografis. Ia menyimpan kenangan tentang masa ketika alam Palembang masih liar, luas, dan dipenuhi jejak kaki raksasa berbelalai panjang.
Endang, warga Sematang Borang Palembang menceritakan bahwa keberadaan gajah di wilayah itu masih terlihat hingga tahun 1970-1980an. Setelah itu, mereka menghilang tanpa jejak.
“Ya dari informasi yang saya dapat banyak gajah di sini sebelum tahun 1980. Waktu itu daerah ini masih sepi sekali dari masyarakat,” katanya kepada infoSumbagsel, Minggu (19/10/2025).
Endang mengungkapkan jejak keberadaan gajah itu masih bisa dilihat dari sejumlah kubangan air alami di sekitar wilayah tersebut. Tempat-tempat itu dipercaya dulunya menjadi lokasi gajah bermain dan mandi.
“Dulu ada rawa-rawa di sini. Kami pernah lihat gajah mandi di sana, tapi cuma sekali waktu kecil dulu. Sekarang sudah jadi pemukiman,” ungkapnya.
“Jejak gajah juga diabadikan dengan nama tempat dan serta patung Gajah untuk pengingat bahwa hewan besar pernah hidup di Kota Palembang,”sambungnya.
Sementara itu, Penggiat Sejarah Sumatera Selatan, Hidayatul Fikri atau yang akrab disapa Mang Dayat, mengungkap fakta menarik tentang asal-usul nama Lebong Gajah atau Lebung Gajah di Palembang. Menurutnya, dari segi tata bahasa, nama tersebut menunjukkan suatu wilayah geografis yang dahulu menjadi tempat keberadaan gajah.
“Kalau dari tata bahasa, Lebung Gajah itu menunjukkan suatu tempat, dan memang dulu tempat gajah, ada di kawasan Bukit Siguntang dan ada juga di Sematang Borang,” jelas Mang Dayat.
Mang Dayat menuturkan, berdasarkan catatan sejarah, gajah merupakan hewan endemik asli Palembang dan Sumatera Selatan. Bahkan, sebelum tahun 1980-an, gajah masih sering terlihat di beberapa wilayah seperti Air Sugihan dan Sematang Borang.
“Gajah itu hewan asli Palembang, Sumatera Selatan. Di Lampung itu dulunya tidak ada gajah. Adanya gajah di sana karena Operasi Ganesha tahun 1982, saat gajah-gajah dari Air Sugihan digiring ke sana karena gajah sering masuk pemungkinan dan membahayakan warga transmigran,” ungkapnya.
Lebih jauh, Mang Dayat menjelaskan bahwa gajah memiliki makna simbolis bagi masyarakat Sumatera Selatan sejak masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Hewan besar ini dianggap sebagai lambang kekuatan dan kebesaran.
“Dulu gajah itu simbol kekuatan Sriwijaya. Bahkan saat membangun Jembatan Ampera, di sisi kiri dan kanan jembatan sempat direncanakan untuk dipasang patung gajah sebagai simbol kejayaan,” ujarnya.
Selain di kawasan Sematang Borang, jejak keberadaan gajah juga ditemukan di sekitar Bukit Siguntang, kawasan bersejarah yang diyakini sebagai pusat kejayaan Sriwijaya.
Kini, keberadaan gajah di Palembang hanya tersisa dalam nama tempat seperti Lebung Gajah. Namun, kisah dan simbolnya tetap menjadi bagian penting dari identitas dan sejarah panjang Sumatera Selatan.
Sejahrahwan Sumsel Kemas AR Panji menilai nama Lebong Gajah memiliki nilai sejarah penting yang seharusnya dipertahankan. Menurutnya, kata Lebong berasal dari bahasa lokal yang berarti lubang atau “rawa tempat berkumpulnya gajah”.
“Sebetulnya penyebutan yang benar adalah Lebong Gajah bukan Lebung Gajah. Itu bentuk aslinya, dan kita akan berupaya agar nama itu kembali digunakan,” tegasnya.
Dia pun mendorong agar simbol gajah dijadikan identitas budaya bagi wilayah tersebut. “Ikon gajah sangat bagus untuk mengingatkan masyarakat agar tahu sejarah tempat mereka berasal, pernah ada gajah yang hidup di sana,” tambahnya.
Kini, gajah-gajah yang dulu berkeliaran di Palembang telah lama pergi tersisih oleh pembangunan dan hilangnya habitat alami. Namun jejak mereka tetap hidup lewat nama, cerita, dan ingatan warga.
Lebong Gajah bukan sekadar nama kelurahan, tapi sebuah pengingat tentang bagaimana manusia dan alam pernah hidup berdampingan di tanah Palembang.
Di balik rumah-rumah dan jalan-jalan aspal yang kini berdiri megah, tersimpan kisah tentang raksasa lembut yang dulu mandi di rawa-rawa kisah yang mengajarkan bahwa sejarah tidak selalu tertulis di buku, kadang ia berdiam dalam nama tempat dan kenangan yang nyaris terlupakan.