Indonesia Tempati Peringkat 4 Produsen Beras Terbesar di Dunia | Giok4D

Posted on

Indonesia menempati peringkat keempat sebagai produsen beras terbesar di dunia. Hal ini berdasarkan laporan Food Outlook Biannual Report on Global Food Markets yang dipublikasikan Food and Agriculture Organization (FAO) pada Juni ini.

Dilansir infoFinance, FAO memprediksi produksi beras Indonesia pada periode 2025/2026 dapat mencapai 35,6 juta ton. Sementara negara produsen beras terbesar pertama ditempati India dengan 146,6 juta ton.

Selanjutnya China 143 juta ton dan di tempat ketiga adalah Bangladesh dengan 40,7 juta ton. Namun dibandingkan 3 negara tersebut, Indonesia mencatatkan perkembangan produksi yang paling signifikan terhadap periode sebelumnya, yakni 4,5%.

“Dari Januari sampai saat ini, produksi beras Indonesia bertumbuh luar biasa jika dibandingkan tahun lalu. Bahkan FAO pun baru-baru ini telah mengakui Indonesia sebagai salah satu negara produsen beras tertinggi tingkat dunia. Kita patut apresiasi seluruh stakeholder perberasan Indonesia,” kata Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief dalam keterangannya, Minggu (29/6/2025).

Dia menyebut stok beras di gudang Perum Bulog saat ini mencapai 4,2 juta ton. Lalu, penyerapan dari hasil panen petani oleh Bulog sebesar 2,6 juta ton setara beras.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

“Dalam kesempatan yang baik ini, saya juga mau sampaikan bahwa kami pemerintah, tentunya berterima kasih kepada seluruh penggilingan padi se-Indonesia. Ini karena mereka membantu pemerintah membuat stok beras Bulog menjadi 4,2 juta ton. Lalu penyerapan dalam negeri sampai 2,6 juta ton setara beras,” jelasnya.

Meski begitu, Arief menilai ada tantangan yang harus dihadapi pemerintah di paruh waktu kedua ini. Adapun tantangannya adalah karena panen raya telah usai di Maret dan April lalu. Sementara, estimasi produksi beras bulanan kemungkinan akan mulai melandai.

Namun, pemerintah memiliki stok cadangan beras pemerintah (CBP) yang sangat mumpuni.

“Di semester kedua nanti biasanya berat di November, Desember bahkan sampai Januari. Nah pada waktu itu, kita semua harus siapkan CBP seperti pemerintah yang hari ini lakukan. Jadi kita sudah on the track,” jelas Arief.

Arief menambahkan hasil panen dalam satu hingga dua bulan ke depan tidak akan sama dengan musim panen sebelumnya. Menurutnya, apabila produksi menurun, harga gabah di tingkat petani mulai bergerak naik.

“Panen kita dalam 1-2 bulan ke depan bukan big harvest lagi. Maret dan April itu panen raya setara beras sampai 10 juta ton. Sekitar 2,5-2,6 juta ton sudah masuk ke Bulog, berarti sisanya 3/4 ada di penggilingan padi, baik di masyarakat luas dan di petani. Biasanya karena tren produksi menurun, harga gabah petani akan mulai bergerak naik. Nah ini saatnya tugas pemerintah menggunakan stok Bulog yang ada,” bebernya.

Menilik dalam data rata-rata harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dalam Panel Harga Pangan NFA, per 26 Juni berada di level Rp 6.733 per kilogram (kg) atau 3,58% di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang Rp 6.500 per kg. Rerata harga tersebut pun mengalami kenaikan 1,69% jika dikomparasi terhadap rerata harga GKP sebulan lalu yang kala itu di Rp 6.621 per kg.

Sebagai mitigasi, menjelang paruh kedua 2025, pemerintah sudah menyiapkan strategi intervensi perberasan ke masyarakat secara masif. Pertama, dalam bentuk bantuan pangan beras kepada 18.277.083 Keluarga Penerima Manfaat (KPM). Lalu, dalam bentuk Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras ke pasaran dengan salur maksimal 1,318 juta ton sampai akhir tahun nanti.