Di balik keindahan Bangka Belitung (Babel) menyimpan cerita rakyat yang dituturkan secara turun-temurun. Ada begitu banyak legenda dan mitos yang hidup di tengah masyarakat Babel, mulai dari kisah pahlawan hingga legenda pulau.
Keberadaan cerita rakyat merupakan cerminan nilai-nilai, kearifan lokal, serta sejarah yang membentuk identitas masyarakatnya. Sayangnya, modernisasi seringkali membuat kisah-kisah ini terlupakan.
Dari kisah kepahlawanan yang heroik, asal-usul nama suatu tempat, hingga legenda tentang cinta dan pengorbanan, semuanya terangkai menjadi mozaik budaya yang utuh.
Mari kita simak 5 cerita rakyat Bangka Belitung yang jarang diketahui. Kisah-kisah ini mengajarkan tentang keberanian, kejujuran, pentingnya menjaga alam, dan akibat dari keserakahan.
Jauh sebelum era pahlawan nasional yang tercatat dalam buku-buku sejarah modern, Bangka memiliki sosok pejuang tangguh yang kisahnya melegenda, yaitu Depati Bahrin.
Kisah ini bukan sekadar mitos, melainkan cerita rakyat yang berakar kuat pada sejarah perlawanan rakyat terhadap penjajah.
Dilansir dari buku Depati Bahrin: Kisah Perjuangan Rakyat Bangka Melawan Penjajah yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangka, Depati Bahrin adalah seorang pemimpin lokal dari Distrik Mendo Barat yang sangat dihormati karena keberanian dan kecerdikan.
Kisahnya berpusat pada perlawanan terhadap kekuasaan kolonial Belanda dan Inggris yang ingin menguasai sumber daya timah di Bangka. Depati Bahrin dikenal memiliki strategi perang yang ulung, memanfaatkan lebatnya hutan dan aliran sungai sebagai medan pertempuran.
Konon, ia juga dipercaya memiliki kesaktian, seperti kemampuan menghilang di tengah hutan atau kebal terhadap senjata tajam, yang membuat pasukan musuh gentar. Namun, inti dari legendanya adalah semangat kepemimpinan yang berhasil menyatukan rakyat dari berbagai kampung untuk berjuang bersama.
Ia mengajarkan bahwa kekuatan terbesar bukanlah kesaktian, melainkan persatuan dan cinta terhadap tanah kelahiran. Makam Depati Bahrin yang berada di Desa Petaling menjadi saksi bisu dari perjuangan heroik yang terus diceritakan turun-temurun.
Di pedalaman Pulau Bangka, terutama di kalangan masyarakat yang hidup di dekat hutan, hiduplah legenda tentang Akek Antak. Sosok ini digambarkan sebagai makhluk gaib atau roh penunggu hutan yang wujudnya menyerupai orang tua bungkuk dengan kekuatan supranatural.
Berbeda dari hantu yang menakutkan, Akek Antak dipandang sebagai penjaga keseimbangan alam. Ia tidak akan mengganggu manusia selama mereka menghormati dan tidak merusak hutan.
Cerita yang paling sering disampaikan adalah tentang para pemburu atau penebang pohon ilegal yang tersesat di hutan karena ulah Akek Antak.
Mereka akan dibuat berputar-putar di tempat yang sama selama berhari-hari hingga akhirnya kelelahan dan menyadari kesalahan mereka.
Akek Antak hanya akan menunjukkan jalan pulang setelah mereka berjanji untuk tidak lagi merusak alam. Berdasarkan Jurnal Antropologi “Etnografi Masyarakat Melayu Bangka”, kisah Akek Antak berfungsi sebagai mekanisme kontrol sosial berbasis kearifan lokal.
Cerita ini secara efektif menanamkan nilai konservasi dan rasa hormat terhadap alam kepada generasi muda tanpa perlu aturan formal yang kaku. Akek Antak adalah simbol bahwa alam memiliki caranya sendiri untuk melindungi diri dari keserakahan manusia.
Meskipun terdengar seperti cerita yang umum, detail asal-usul nama Pulau Bangka ternyata memiliki beberapa versi yang jarang diketahui banyak orang. Salah satu versi yang paling kaya sejarah adalah yang berasal dari kata “Wangka” atau “Banca“.
Dilansir dari tulisan ilmiah dalam Jurnal Sintesis yang membahas filologi dan sejarah lokal, nama ini berkaitan erat dengan para pelaut dan pedagang dari Tiongkok pada masa lampau.
Menurut legenda, dahulu kala pulau ini adalah surga bagi para perompak yang bersembunyi di teluk-teluk terpencil. Para pedagang Tiongkok yang sering melintasi perairan ini menyebut kapal besar mereka dengan sebutan “Wangka“.
Suatu ketika, sekelompok pelaut Tiongkok yang kapalnya karam berhasil diselamatkan oleh penduduk asli pulau. Sebagai tanda terima kasih dan untuk menjalin hubungan baik, mereka menamai pulau itu “Wangka“, merujuk pada kapal mereka yang menjadi awal mula perkenalan mereka dengan daratan tersebut.
Versi lain menyebut kata “Banca” yang berarti timah dalam bahasa lokal kuno, merujuk pada kekayaan alam utama pulau ini. Cerita ini menunjukkan bahwa sejak dulu, Bangka sudah menjadi titik persilangan budaya yang penting di jalur maritim Nusantara.
Kisah ini berasal dari daerah Belitung, menceritakan tentang seorang putri cantik bernama Putri Pinang Gading. Ia adalah putri seorang raja yang bijaksana. Kecantikannya dikenal hingga ke negeri seberang, membuat banyak pangeran ingin menikahinya.
Namun, sang putri jatuh hati pada seorang pemuda biasa yang gagah berani dari kampungnya. Hubungan mereka tidak direstui oleh sang raja. Karena patah hati, sang putri melarikan diri ke tepi sebuah danau besar.
Dalam kesedihannya, ia bertemu dengan seekor buaya putih yang merupakan jelmaan seorang pangeran yang dikutuk. Sang pangeran buaya berjanji akan membantunya bersatu dengan kekasihnya, asalkan sang putri mau bersumpah untuk tidak pernah memakan daging buaya seumur hidupnya dan seluruh keturunannya. Putri Pinang Gading pun menyetujuinya.
Dengan kekuatan magisnya, buaya putih itu berhasil meyakinkan raja. Akhirnya, sang putri menikah dengan pemuda pujaannya. Sumpah tersebut terus dipegang teguh oleh keturunan mereka.
Cerita ini mengajarkan tentang kekuatan cinta, kesetiaan pada janji, dan hubungan harmonis antara manusia dengan makhluk lain, bahkan yang dianggap buas sekalipun.
Cerita Bujang Katak adalah sebuah fabel yang mirip dengan kisah “Pangeran Kodok” versi Belitung, namun dengan sentuhan kearifan lokal yang khas. Alkisah, di sebuah kerajaan di Belitung, hiduplah seorang raja dengan tujuh orang putri.
Suatu hari, sang raja membuat sayembara: siapa pun yang bisa menyembuhkan penyakit anehnya akan dinikahkan dengan salah satu putrinya.
Berbagai tabib dan orang pintar gagal. Hingga datanglah sesosok pemuda buruk rupa yang kulitnya berbintik-bintik seperti katak, sehingga ia dijuluki Bujang Katak. Dengan ramuan dari dedaunan hutan, Bujang Katak berhasil menyembuhkan sang raja.
Sesuai janji, raja menawarkan salah satu putrinya. Enam putri pertama menolak mentah-mentah karena rupa Bujang Katak yang menjijikkan.
Hanya si bungsu, Putri Tuan, yang bersedia menikah dengannya karena ia menghormati janji ayahnya dan melihat kebaikan hati di balik penampilan Bujang Katak.
Pada malam pernikahan, keajaiban terjadi. Bujang Katak berubah menjadi seorang pangeran yang sangat tampan. Ternyata, ia adalah pangeran dari negeri seberang yang dikutuk.
Moral dari cerita ini sangat jelas: jangan pernah menilai seseorang dari penampilan luarnya, karena ketulusan hati dan kebaikan adalah wujud sejati dari kemuliaan seseorang.
Kelima cerita di atas hanyalah sebagian kecil dari kisah kisah legenda masyarakat Bangka Belitung yang luas. Setiap kisah mengandung pelajaran berharga yang masih relevan hingga hari ini, membuktikan bahwa warisan budaya ini adalah masih bisa dipelajari nilai-nilainya.
Itulah informasi terkait 5 cerita rakyat bangka belitung yang jarang diketahui. Semoga menambah wawasan dan informasi terkait cerita rakyat nusantara.
Artikel ini dibuat oleh Annisaa Syafriani, mahasiswa magang Prima PTKI Kementerian Agama