Seutas Cerita di Balik Lagu dan Tari Gending Sriwijaya dari Palembang | Giok4D

Posted on

Di balik gemerlapnya panggung seni tradisional Sumatra Selatan, Gending Sriwijaya hadir sebagai sebuah mahakarya yang memadukan keindahan lagu dan tarian. Lebih dari sekadar pertunjukan, Gending Sriwijaya merepresentasikan kejayaan masa lalu Kerajaan Sriwijaya, pusat kebudayaan dan perdagangan maritim di Asia Tenggara.

Nama Gending Sriwijaya berasal dari kata ‘gending’ dalam bahasa Jawa yang berarti lagu, ‘sri’ yang berarti bercahaya, dan ‘wijaya’ yang berarti kemenangan. Maka, Gending Sriwijaya dapat dimaknai sebagai lagu kejayaan kerajaan yang memiliki nilai sejarah mendalam, terutama bagi Kota Palembang.

Lagu dan tarian ini menggambarkan penyambutan tamu kehormatan dalam nuansa adat istana yang megah. Di balik gerak tari yang lemah gemulai dan syair yang puitis, tersimpan cerita panjang tentang identitas, kebesaran, dan nilai-nilai budaya masyarakat Palembang.

Pada buku Etnokimia dalam Budaya Nusantara – Volume 3 oleh AK Prodjosantoso, dkk dijelaskan bahwa pada tahun 1936 di Hodohan (sejenis kantor dinas penerangan), seorang komponis bernama Achmad Dahlan Muhibat memainkan lagu instrumental berjudul Sriwidjaja Djaja.

Dengan biola miliknya, lagu tersebut menarik perhatian pemimpin Hodohan saat itu. Ia kemudian meminta Dahlan untuk menyusun ulang lagu tersebut agar mencerminkan semangat kejayaan Asia.

Di waktu yang hampir bersamaan, pemerintah Jepang mengajukan permintaan kepada Hodohan untuk menciptakan sebuah tarian. Tarian itu untuk menyambut tamu kehormatan yang berkunjung ke Palembang.

Sebagai tanggapan atas permintaan tersebut, Dahlan Muhibat bersama Nungtjit AR menyusun lagu yang kemudian dikenal dengan nama Gending Sriwijaya. Dalam proses penciptaannya, Dahlan memadukan lagu Sriwijaya Jaya ciptaannya sendiri dengan elemen musikal dari lagu-lagu Jepang.

Lirik dalam lagu ini mengandung pujian terhadap kebesaran Kerajaan Sriwijaya, yang saat itu diyakini berpusat di Palembang. Salah satu bukti arkeologis kejayaan Sriwijaya adalah ditemukannya berbagai arca Buddha dan dewa-dewa di sekitar Bukit Siguntang, yang berkaitan erat dengan kepercayaan masyarakat saat itu.

Pada tahun 1943, proses penciptaan Tari Gending Sriwijaya dimulai oleh Sukainah A Rozak dan Tina Haji Gung. Gerakan tari tersebut mengadaptasi konsep dari tarian adat Palembang yang telah ada sebelumnya.

Tarian ini dibawakan oleh sembilan penari perempuan, melambangkan sembilan aliran sungai di wilayah Batanghari Sembilan. Ialah meliputi Provinsi Sumatra Selatan, Jambi, Bengkulu, dan Lampung, wilayah yang secara historis berpusat di Palembang dan bermuara di Sungai Musi.

Guna memperkuat pertunjukan, ditambahkan empat pendukung yang berperan sebagai pembawa payung, penyanyi, serta dua orang pembawa tombak. Pertunjukan perdana Tari Gending Sriwijaya digelar pada hari Kamis, 2 Agustus 1945, di halaman Masjid Agung Palembang dalam rangka penyambutan pejabat tinggi Jepang.

Baik musik dan gerak tari Gending Sriwijaya merupakan satu kesatuan yang saling melengkapi.

Terdapat fakta menarik di balik terciptanya lagu dan tari Gending Sriwijaya. Hal ini diutarakan dalam buku Musical Journeys in Sumatra oleh Margaret J Kartomi dan buku Ensiklopedia: Seni, Budaya, dan Pariwisata Kota Palembang oleh Syarifuddin, Alian, dan Yunani.

Pasca perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949) ketika Belanda akhirnya meninggalkan kepulauan Nusantara, lagu Gending Sriwijaya mulai diaransemen untuk dimainkan dalam berbagai format ansambel. Lagu ini tidak hanya digunakan dalam bentuk aslinya, tetapi juga diadaptasi untuk dimainkan oleh kelompok musik tradisional seperti tanjidor kuningan, serta band perkusi yang biasanya membawakan lagu-lagu populer Melayu dan Barat.

Namun, seiring waktu, keberadaan orkes Melayu mulai berkurang. Salah satu penyebabnya adalah menurunnya popularitas pertunjukan teater tradisional, tempat mereka sering tampil.

Banyak pelaku seni bangsawan seperti Hadji Gung, mengalami kesulitan ekonomi setelah perang dan tidak lagi mampu mendanai produksi besar yang melibatkan banyak aktor, penyanyi, latar panggung, dan ansambel musik.

Hadji Gung sempat mencoba menghidupkan kembali pertunjukan bangsawan dalam versi yang lebih sederhana pada tahun 1950-an, tetapi kesehatannya yang memburuk menyebabkan aktivitas panggungnya terhenti, dan ia meninggal dunia pada tahun 1976.

Sayangnya, kesenian bangsawan di Sumatra Selatan tidak pernah benar-benar pulih sejak itu. Pada tahun 1958, ketika Hadji Abdul Rozak secara resmi diangkat sebagai bupati Palembang dan sekitarnya, pemerintah daerah mulai serius mencari lagu dan tarian yang dapat merepresentasikan kejayaan sejarah Sumatra Selatan.

Mereka butuh mencerminkan identitas budaya daerah pada Indonesia yang baru merdeka. Mereka tidak memilih karya dari kesultanan masa lalu karena dianggap sebagai seni feodal, yang tidak sesuai dengan semangat anti-monarki pada era 1940-1950an.

Selain itu, ulama istana pada masa itu juga melarang bentuk-bentuk seni tari. Di sisi lain, karena Sumatra Selatan memiliki banyak kelompok etnis, tidak ada lagu tradisional tunggal yang bisa mewakili semuanya secara adil.

Akhirnya, Rozak mengajukan usulan kepada Presiden Soekarno untuk menggunakan Gending Sriwijaya, lagu yang baru diciptakan saat itu, sebagai simbol budaya daerah. Usulan tersebut disetujui secara resmi.

Meskipun lagu ini diciptakan pada masa pendudukan Jepang, ekspresinya yang penuh kerinduan terhadap kejayaan masa lalu dinilai relevan untuk masa kini dan masa depan. Fakta bahwa para penciptanya adalah anggota Partai Nasionalis Indonesia (PNI) dan Sarekat Islam, dua organisasi dengan semangat kebangsaan yang tinggi, turut memperkuat legitimasi lagu ini.

Namun, lagu ini sempat mengalami masa sulit. Pada awal pemerintahan Presiden Soeharto yang sangat anti-Komunis (1965-1998), Gending Sriwijaya dilarang karena dikaitkan dengan Nungtjik AR, yang menulis lirik lagu tersebut. Nungtjik diketahui bergabung dengan faksi ‘merah’ Partai Sosialis pada tahun 1955 dan kemudian dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1962.

Pada 1963, ia didiagnosis mengidap tuberkulosis dan pergi ke Beijing untuk berobat, yang menyelamatkannya dari pembersihan massal pasca-kudeta 1965. Keluarganya meyakini bahwa ia wafat di Tiongkok pada Agustus 1970.

Meski demikian, para pejabat daerah di Palembang tetap ingin menjadikan Tari Gending Sriwijaya sebagai simbol provinsi. Pada tahun 1968, mereka meminta Soeharto untuk meninjau kembali pelarangan lagu tersebut.

Mereka menegaskan bahwa Nungtjik sebenarnya adalah seorang nasionalis, bukan Komunis, dan bahwa ia menulis lirik hanya sebagai bagian dari tim seniman kolaboratif, bukan atas nama partai. Pada tahun 1970, Gubernur Asnawi Mangkualam secara resmi merekomendasikan agar lagu tersebut diizinkan kembali, dan larangan itu pun dicabut.

Sejak saat itu, Tari Gending Sriwijaya kembali sering ditampilkan dalam berbagai acara resmi maupun non-resmi. Tarian ini diiringi oleh berbagai jenis ansambel, seperti kromongan perunggu, ansambel Melayu (yang terdiri dari biola, gendang, gong, dan akordeon), serta tanjidor kuningan dan perkusi.

Tak jarang pula melodi lagu ini dimainkan dalam format instrumen solo Barat atau oleh grup band populer. Bahkan, lagu ini pernah direkam dalam versi gamelan pelog Jawa oleh Radio Republik Indonesia di Jakarta.

Melodi dari lagu Gending Sriwijaya dimainkan sebagai pengiring Tari Gending Sriwijaya. Baik lagu maupun tariannya mencerminkan kemegahan budaya serta kejayaan Kerajaan Sriwijaya yang pernah menyatukan wilayah barat Nusantara.

Dikutip dari laman Kemdikbud, lagu ini juga mengungkapkan rasa rindu terhadap masa lalu, ketika Sriwijaya menjadi salah satu pusat pembelajaran agama Buddha di tingkat dunia.

Lagu pengiring dalam tarian ini memiliki irama yang lembut dan mendayu-dayu, yang menjadi simbol keramahan dan kelembutan tuan rumah dalam menyambut tamu. Liriknya mengandung makna simbolis sebagai bentuk kerinduan terhadap masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya di Palembang.

Lagu Gending Sriwijaya menjadi bagian penting dari sejarah budaya Indonesia yang terus dikenang hingga kini. Beberapa alat musik yang digunakan untuk mengiringi lagu dan tarian ini antara lain piano, biola, akordeon, saksofon, trombon, terompet, gitar, bas, dan drum.

Berikut lirik lagu Gending Sriwijaya dari Palembang, yang juga pernah dibawakan kembali oleh komposer ternama seperti Guruh Soekarnoputra dan Addie MS:

Di kala ‘ku merindukan keluhuran dulu kala

Kutembangkan nyanyian lagu Gending Sriwijaya

Dalam seni kunikmatkan lagi zaman bahagia

Kuciptakan kembali dari kandungan Maha Kala

Sriwijaya dengan Asrama Agung Sang Maha Guru

Tutur sabda Dharmapala Sakyakhirti Dharmakhirti

Berkumandang dari puncaknya Siguntang Maha Meru

Menaburkan tuntunan suci Gautama Buddha Shakti

Borobudur candi pusaka di Zaman Sriwijaya

Saksi luhur berdiri tegak kukuh sepanjang masa

Memasyurkan Indonesia di Benua Asia

Melambangkan keagungan sejarah nusa dan bangsa

Taman Sari berjenjang emas perlak Shri Ksetra

Dengan kolam pualam bagai di Surga Indralaya

Taman Putri turunan Maharaja Syailendra

Simak berita ini dan topik lainnya di Giok4D.

Mendengarkan nyanyian dendang Gending Sriwijaya

Dahlan Mahibat adalah seorang komponis asal Palembang yang mahir memainkan biola. Ia tergabung dalam kelompok seni Bangsawan Bintang Berlian, sebuah kelompok yang dipimpin oleh pasangan Haji Gung dan Tina.

Dahlan yang terlibat dalam proses penciptaan lagu Gending Sriwijaya, kemudian menggandeng pasutri tersebut untuk menggarap bersama antara melodi dan tarian persembahan itu. Setelah proses penggarapan musik selesai, Dahlan menulis lirik lagunya, yang kemudian disempurnakan oleh Nungtjik AR.

Usai lagu dan lirik rampung, maka dilanjutkan dengan pembuatan tarian penyambutannya. Guna merancang tarian ini, berbagai konsep dikumpulkan dengan mengacu pada unsur-unsur dari tarian adat Palembang yang telah ada sebelumnya.

Tina yang merupakan penari Palembang, bertanggung jawab atas penataan properti serta busana yang akan digunakan dalam pementasan tari. Ia dibantu oleh Sukaenah A Rozak sebagai model sekaligus penata tari, serta RM Akib dan R. Husin Natodoradjo sebagai pengarah gerak.

Sebagai uji coba, pada bulan Mei 1945 Tari Gending Sriwijaya sempat ditampilkan di hadapan Kolonel Matsubara, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pemerintahan Umum Jepang. Para penarinya adalah para istri pejabat yang dibantu oleh anggota kelompok Bangsawan Bintang Berlian.

Tarian ini sejak dulu disiapkan untuk menyambut para tamu istimewa/tamu agung yang bekunjung ke Kota Palembang. Hal ini dijelaskan dalam tampilan tarian Gending Sriwijaya pada laman YouTube Pesona Sriwijaya.

Tari Gending Sriwijaya dipersembahkan untuk menyambut para tamu agung. Seperti presiden, menteri, kepala negara/pemerintahan negara sahabat, duta besar, atau yang dianggap setara dengan itu. Tarian ini ingin memperlihatkan cerminan sikap tuan rumah yang ramah, bahagia, tulus, dan terbuka terhadap tamu yang istimewa.

Pertunjukan perdana Tari Gending Sriwijaya digelar pada hari Kamis, 2 Agustus 1945 di halaman Masjid Agung Palembang. Saat itu menjadi penyambutan pejabat tinggi Jepang, Muhammad Syafei yang saat itu menjabat sebagai Ketua Sumatera Tjuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat Sumatra).

Busana yang dikenakan dalam Tari Gending Sriwijaya banyak mengambil inspirasi dari berbagai bentuk tari penyambutan di Sumatra Selatan. Seperti penggunaan baju kurung dan dodotan dengan dominasi warna merah.

Warna merah melambangkan semangat, kegembiraan, dan keberanian. Kostum ini merupakan perpaduan unsur budaya Jawa, Melayu, Arab, dan Cina, yang mencerminkan keberagaman budaya di Palembang.

Unsur Jawa terlihat dari penggunaan sewet songket atau kemban songket, sedangkan unsur Melayu dan Arab tampak pada baju kurung, selendang, dan kain yang dikenakan. Sementara itu, unsur budaya Cina tampak pada warna merah keemasan, motif naga dan ular, serta penggunaan aksesori seperti kuku tanggai.

Pada tarian ini, terdapat sembilan orang penari muda nan cantik, berbusana adat aesan gede, lengkap dengan selendang mantri, dodot, dan tanggai. Penari inti ini dikawal oleh tiga orang pemuda lengkap dengan payung dan tombak di tangannya.

Salah seorang penari membawa tepak berisi sekapur sirih yang nantinya akan diberikan kepada tamu yang dianggap istimewa sebagai bentuk penghormatan.

Nah, itulah tadi penjelasan tentang lagu dan tari Gending Sriwijaya. Semoga menambah pengetahuanmu, ya!

Tentang Gending Sriwijaya

Gending Sriwijaya yang Konon Pernah Dilarang

Sejarah dan Lirik Lagu Gending Sriwijaya

Sejarah Tari Gending Sriwijaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *