Nangguak Tebat, Tradisi Suku Serawai Sambut Idul Adha

Posted on

Ratusan warga Desa Lunjuk, Kecamatan. Seluma Barat, Kabupaten Seluma, Bengkulu berbondong-bondong membawa serokan jaring (sauak) dan keranjang. Mereka hendak mengikuti tradisi nangguak tebat yang rutin digelar sebelum Hari Raya Idul Adha.

Ratusan warga memenuhi sebuah danau rawa milik desa yang diberi nama Tebat Ratu. Dimulai dengan sambutan kepala desa serta doa, ratusan warga menceburkan diri menggunakan sauak dan keranjang untuk menangkap ikan.

Kepala Desa Lunjuk, Pengki Suwito mengatakan, tradisi nangguak tebat merupakan tradisi desanya yang dilakukan setiap tahun sebelum Hari Raya Kurban atau Idul Adha. Nangguak Tebat artinya dalam bahasa Suku Serawai adalah menangkap ikan di danau menggunakan sauak dan keranjang, tidak boleh alat lainnya.

“Tebat Ratu itu (adalah) danau rawa milik desa merupakan salah satu wisata desa. Nah, setiap tahun sebelum Hari Raya Kurban, ikannya dipanen massal oleh warga, itu kearifan lokal desa,” kata Pengki Suwito, Kamis (29/5/2025).

Pengki menjelaskan, ada kesepakatan warga Tebat Ratu hanya boleh dipanen setahun sekali oleh semua warga menggunakan alat tangkap sauak dan keranjang tidak menggunakan alat modern apalagi menggunakan alat sentrum ikan.

“Apabila ketahuan menggunakan jaring, jala atau selain sauak dan keranjang, maka peserta akan didiskualifikasi atau tidak boleh ikut panen,” jelas Pengki.

Selama setahun saat tebat tidak panen maka warga tidak boleh memancing, menjala atau mengambil ikan di tebat. Apalagi kalau benih ikan sudah ditabur.

Pengki menyebutkan beberapa tahun lalu dinas perikanan Pemda Seluma membagikan 10 ribu benih ikan nila dan mujahir ke tebat.

“Saat ini ikan-ikan tersebut siap dipanen,” kata dia.

Tokoh pemuda adat Serawai, Diel Andika, mengungkapkan tradisi Nangguak Tebat adalah kebiasaan masyarakat Suku Serawai. Suku mayoritas mendiami Kabupaten Seluma. Nangguak menguatkan solidaritas, ajang silahturahmi dan keakraban.

“Ini kearifan lokal Suku Serawai, media silahturahmi warga juga sebagai bentuk ketahanan pangan. Ikannya dibagikan untuk semua warga,” sebut Diel.

Saat panen ikan tidak saja warga desa yang ikut serta, bahkan warga desa yang merantau juga ikut pulang kampung guna ikut keseruan memanen ikan.

“Ini salah satu wisata budaya, adat desa yang apabila dipertahankan sangat mahal nilainya,” sebut Diel.

Ratusan warga terlihat masih menangkap ikan diiringi gelak tawa dan canda. Ikan nila dan mujair berukuran besar terlihat memenuhi ember dan tempat menyimpan ikan.