Menikmati Makan Ngidang Tradisi Palembang di Museum Al-Qur’an Al-Akbar

Posted on

Sebanyak 300 masyarakat Palembang menikmati tradisi makan ngidang di Museum Bayt Al-Quran Akbar pada Jumat (12/9/2025). Momen ini termasuk bagian dari melestarikan budaya yang sudah ada sejak masa silam.

Makan ngindang adalah menyatap hidangan secara bersama-sama secara lesehan dengan lauk-pauk yang tersaji. Kemunculan tradisi ini tidak terlepas dari kehadiran bangsa Arab yang membawa pengaruh besar bagi kehidupan kebudayaan Palembang.

Makan hidangan diadopsi dari kebiasaan bangsa Arab yang makan dengan talang atau nampan. Pada masa kesultanan pemerintahan Sultan Badaruddin I Jayo Wikramo, cara makan orang Arab tersebut diubah menyesuaikan dengan karakter masyarakat Palembang. Dari yang makan langsung di nampan diganti dengan menggunakan piring.

Setiap orang mengisi piringnya dengan nasi, lauk-pauk, hingga berbagai kondimen menu pelengkap lainnya. Perubahan inilah yang melekat pada tradisi makan ngidang.

“Kita mengambil benang merah bahwa ini (ngidang makan) punya orang Palembang,” ujar Budayawan Palembang Mang Amin kepada infoSumbagsel, Jumat (12/9/2025).

Tradisi makan ngidang dimulai dengan membentang sepra, kain batik persegi. Setiap satu sepra dikelilingi oleh delapan orang. Kain sepra berfungsi sebagai alas untuk meletakkan sajian makan ngidang.

Setelah itu, proses ngobeng mulai dilakukan. Ngobeng berarti gotong royong. Dalam tradisi ngibang, ngobeng merupakan proses membawa lauk-pauk dari dapur menuju ruang tengah untuk dinikmati tamu undangan. Hidangan tersebut dibawa langsung oleh laki-laki secara bergantian.

Proses menyusun setiap menu disebut dengan besaji. Satu orang akan berperan sebagai penyusun hidangan. Hidangan mulai disusun satu per satu, mulai dari nasi di bagian tengah. Dilanjutkan dengan lauk-pauk, sambal, dan buah yang diletakkan mengelilingi wadah nasi.

Saat makan ngidang di Museum Bayt Al-Quran Akbar tersaji 25 piring hidangan. Ada nasi minyak, ayam kecap, malbi, sambal buncis hati ayam, sambal nanas, acar pelam, sambal ikan asin, buah nanas, dan jeruk.

Menurut Mang Amin, secara tradisi, menu utama yang harus ada saat makan ngidang yakni malbi, ayam opor godok, sambal goreng, sate pentul, dan kari. Saat ini, menu-menu tersebut mengalami perubahan seperti hidangan ayam kecap.

“Ayam kecap itu baru. Biasanya juga ikan asin bukan yang dimasak cabai, tetapi dipotong dan ditaburkan ke atas nasi,” jelasnya.

Setelah hidangan mulai tersaji, orang yang akan makan wajib mencuci tangan dari teko alumunium emas yang dibawa oleh seorang laki-laki secara berkeliling. Setelah itu, hidangan yang sudah ada di depan mata bisa disantap dengan lahap.

Masyarakat Palembang yang hadir Museum Bayt Al-Quran Akbar terlihat menikmati santapan dalam sajian makan ngidang. Tradisi itu menjadi salah satu rangkaian acara dari Anniversary Asosiasi Pengusaha Kue dan Kuliner Sumatera Selatan (Aspenku) yang ke-6 Tahun.

Aspenku memilih makan ngidang sebagai bagian acara ulang tahun karena ingin melestarikan dan mengenalkan kepada generasi muda mengenai tradisi makan hidangan yang dilakukan leluhur dahulu.

“Makan ngidang mulai hampir punah, sudah jarang dilaksanakan. Jadi kami ingin melestarikan kebudayaan melalui kulinernya,” ujar Ketua Aspenku Sumsel Yus Elisa yang kerap disapa Bunda Raya, Jumat (12/9/2025).