Warga Desa Darmo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, tak terima dengan penggusuran lahan kebun oleh PT Bukit Asam Tbk (PTBA) tanpa ganti rugi. Karena itu, warga menyurati Gubernur Sumsel dan DPRD Sumsel dalam memfasilitasi penyelesaian masalah ini.
Diketahui permasalahan itu terkait sengketa lahan. Perusahaan tambang tersebut diduga menggusur kebun warga untuk pembangunan proyek Coal Handling Facility (CHF) TLS 6 & 7, tanpa adanya penyelesaian hukum yang jelas dan tanpa memberikan ganti rugi.
Conie Pania Putri, selaku kuasa hukum dari 262 warga Desa Darmo, mengatakan bahwa surat Gubernur dan DPR RI sudah diserahkan untuk meminta bantuan keadilan terhadap masyarakat.
“Saya meminta perhatian serius dari pemerintah, mulai dari Presiden hingga pemerintah daerah, surat sudah kami berikan ke Gubernur Sumsel dan DPRD Sumsel untuk segera menyelesaikan persoalan ini dengan adil dan sesuai hukum,” katanya kepada infoSumbagsel, Minggu (20/7/2025).
Connie menyoroti belum adanya peran dari pemerintah daerah, baik Gubernur maupun Bupati Muara Enim dalam memfasilitasi penyelesaian masalah ini.
“Kami minta pemerintah jangan tutup mata. Jangan sampai masyarakat jadi korban karena hak mereka diambil paksa tanpa kejelasan,” ungkapnya.
Dijelaskan Connie, bahwa persoalan ini sudah berlangsung sejak tahun 2022. Padahal, lahan yang dipermasalahkan sudah dikelola warga secara turun-temurun, dan menjadi sumber penghidupan utama, seperti kebun karet yang masih produktif hingga kini.
Menurutnya, masyarakat sama sekali tidak tahu bahwa lahan tersebut masuk dalam kawasan hutan atau milik negara. Tidak pernah ada sosialisasi atau ajakan diskusi dari pemerintah kepada warga dalam proses penetapan status kawasan itu.
“Kalau merujuk pada Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 Tahun 1999, penetapan kawasan hutan harus melalui berbagai proses dan melibatkan masyarakat, prosesnya juga panjang, Namun, warga Desa Darmo merasa tidak pernah dilibatkan, juga tidak pernah ada sosialisasi tentang kawasan hutan ini” katanya.
Conie menjelaskan, awalnya PTBA setuju membayar ganti rugi menggunakan Pergub Sumsel Nomor 40 Tahun 2017, yang mengatur soal tarif ganti rugi atas tanah dan tanaman warga. Namun belakangan, PTBA mengubah pendekatannya dan memilih menggunakan aturan dari Perpres 78 Tahun 2023 tentang perubahan atas Perpres no 62 tahun 2018 tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Dalam Rangka Penyediaan Tanah Untuk Pembangunan Nasional.
Hanya saja, Perpres itu lebih mengarah pada pemberian santunan, bukan ganti rugi yang sepadan.
“Perpres 78 ini dibuat untuk proyek strategis nasional, sedangkan proyek CHF TLS 6 & 7 tidak termasuk dalam daftar proyek strategis nasional yang diatur Perpres 109 Tahun 2020. Jadi, tidak tepat jika aturan itu digunakan untuk proyek ini,” tegasnya.
Kekecewaan warga juga lantaran PTBA juga menggandeng pihak ketiga Kantor Jasa Penilai Publik untuk menilai harga tanah dan kebun warga. Hasil penilaiannya dinilai sangat tidak masuk akal dan tidak sesuai dengan nilai sebenarnya.
“Sementara warga hanya meminta satu hal, yakni tetap gunakan Pergub 40 atau selesaikan lewat musyawarah,” tambahnya.
Conie juga menyayangkan sikap PTBA yang dinilai semena-mena. Ia dan tim kuasa hukum sudah meninjau langsung lokasi dan menemukan bahwa penggusuran sudah dilakukan, bahkan dengan pengawalan aparat Brimob dan TNI.
“Belum ada kesepakatan, belum ada sepeser pun ganti rugi diberikan, tapi lahan warga sudah digusur. Ini tindakan sewenang-wenang dan melanggar hukum,” tutupnya.
Sementara itu, Kepala Humas PTBA, Sugandi saat dikonfirmasi infoSumbagsel terkait laporan masyarakat ke Gubernur Sumsel belum merespon.