Daftar Rumah Adat di Sumbagsel dan Melihat Keunikan Arsitekturnya

Posted on

Indonesia dikenal kaya akan budaya dan tradisi. Salah satu wujud kekayaan budayanya tampak jelas dalam keberagaman rumah adat yang dimiliki oleh setiap daerah.

Dalam setiap rumah adat menyimpan nilai filosofis serta mencerminkan kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Seperti di wilayah Sumatera bagian selatan (Sumbagsel), rumah adatnya tak cuma punya keunikan arsitektur, tapi juga menjadi simbol identitas suku.

Dari bentuk atap yang khas hingga ornamen-ornamen tradisional yang sarat makna, rumah-rumah adat di Sumbagsel mencerminkan kekayaan arsitektur tradisional yang luar biasa. Setiap rumah adat di daerah ini dibangun dengan mempertimbangkan kondisi alam, struktur sosial, dan pandangan hidup masyarakat setempat.

Syarifuddin dalam bukunya yang berjudul Buku Ajar Kearifan Lokal Daerah Sumatera Selatan, menyebut kebanyakan rumah adat di Sumbagsel ialah rumah panggung yang memiliki tiang-tiang tinggi. Beberapa tiang bahkan dibangun di atas batu, sebagai pondasi umpak. Pondasi ini diyakini mampu membuat rumah fleksibel terhadap gempa bumi karena dapat bergerak dan mengurangi pengaruh guncangan gempa.

Adapun ciri khas lain yang mudah kita amati adalah model atapnya yang menjulang tinggi, besar, dan biasanya terbuat dari ijuk atau sabut kelapa. Rumah adat tiap daerah juga umumnya terdiri dari beberapa ruang yang memiliki fungsi masing-masing seperti ruang menyimpan alat bertani, sampai ruang menerima tamu kehormatan.

Berikut rumah adat dari berbagai daerah di Sumbagsel, dirangkum dari berbagai sumber literatur. Adapun rumah adatnya berasal dari beberapa daerah seperti Lampung, Palembang, Bengkulu, Jambi, dan Bangka Belitung. Pada setiap desainnya, akan nampak beragam keunikan dari segi desain, fungsi ruang, hingga makna simbolik yang terkandung.

Rumah adat dari provinsi Jambi adalah Kajang Lako, rumah berbentuk rumah panggung persegi panjang. Dikutip dari laman Kemdikbud, rumah adat yang kadang disebut juga Rumah Lamo ini, merupakan rumah tinggal orang Batin. Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi, yang konon berasal dari 60 tumbi atau keluarga yang pindah dari Koto Rayo.

Dirangkum dari buku Eksplorasi Warisan Budaya Provinsi Jambi oleh Faisal Masri Maulana, dkk dan Mengenal Seni dan Budaya Indonesia karya R. Rizky dan T. Wibisono, Kajang Lako diyakini sudah ada sejak peradaban Koto Royo, yang merupakan salah satu pemukiman Melayu pertama di Pulau Sumatra. Para penduduk kemudian berpindah ke wilayah Jambi di tepian Sungai Tabir.

Sejak saat itulah rumah Kajang Lako menjadi ciri khas, hingga pada tahun 1970-an rumah Kajang Lako kemudian ditetapkan sebagai lambang identitas Provinsi Jambi. Rumah adat ini terbilang sederhana, dibangun dengan bahan alami seperti kayu, bambu, dan ijuk.

Pembangunan rumahnya pun dengan teknik tradisional yakni menggunakan teknik tumpuan dan sambungan kait yang menggunakan pasak. Ciri yang paling mencolok yakni bagian atap yang disebut ‘gajah mabuk’, memiliki bentuk melengkung dan terbuat dari ijuk anyam yang dilipat dua bagian.

Bentuk atap yang seperti perahu terbalik dan plafon yang tinggi, memiliki fungsi agar menjaga sirkulasi udara di dalam rumah, meredam panas, serta membuat rumah jadi lebih lapang. Umumnya, rumah ini punya 24 tiang utama, 6 tiang tandu, dan 3 pintu utama yakni pintu vertikal, massal, dan melintang. Masing-masing pintunya bahkan memiliki fungsi khusus.

Pada buku Mengenal Rumah Adat, Pakaian Adat, Tarian Adat, Dan Senjata Tradisional dijelaskan bahwa bagian rumah Kajang Lako terdiri atas delapan ruangan dengan fungsi berbeda. Dari mulai bagian kolong digunakan sebagai kandang ternak, hingga belakang rumah untuk tempat simpan padi dan alat pertanian.

Desain rumahnya sangat fungsional dan cocok dengan alam sekitar. Jika ingin masuk ke bagian dalam rumah, kita perlu naik tangga yang ada di sisi kanan dan kiri rumah. Keunikan lainnya adalah ukiran yang menghiasi bangunan terinspirasi dari aneka ragam flora dan fauna.

Dirangkum dari buku Rumah Tradisional di Indonesia karya Farhan Aulia Maulani dan Rumah Adat di Indonesia oleh DC Tyas, rumah adat Bengkulu adalah Bubungan Lima yang juga berbentuk rumah panggung. Kolong bawah rumah biasanya digunakan sebagai tempat simpan kayu bakar untuk memasak, menyimpan hasil panen, hingga alat pertanian.

Mia Siti Aminah dalam bukunya yang berjudul Mengenal Rumah Adat Nusantara, menuliskan rumah tradisional ini terdiri atas beberapa ruangan yang memiliki fungsi masing-masing. Dimulai dari Berendo, ruang untuk menerima tamu yang belum dikenal atau hanya datang untuk menyampaikan pesan singkat.

Selain itu, ruangan berendo sering dimanfaatkan sebagai tempat bersantai pada pagi atau sore hari. Bagi anak-anak, berendo juga menjadi lokasi favorit untuk bermain, seperti bermain congklak, lompat karet, dan permainan tradisional lainnya.

Ada pula Hal, ruangan yang digunakan untuk menjamu tamu yang sudah akrab, dihormati, atau memiliki kedekatan dengan penghuni rumah. Di samping fungsi tersebut, hal juga sering difungsikan sebagai tempat berkumpul keluarga di malam hari, ruang belajar anak, atau tempat untuk mengadakan acara selamatan.

Lalu bilik gedang yang juga dikenal sebagai bilik induk, merupakan kamar tidur utama yang diperuntukkan bagi ayah, ibu, dan anak-anak mereka yang masih kecil. Sementara bilik gadis adalah kamar khusus yang disediakan untuk anak perempuan istirahat dan tempat berhias.

Ada juga ruang tengah, ruang makan, garang atau ruang khusus untuk menyimpan wadah air, dapur, dan berendo belakang untuk tempat bersantai dan beristirahat bagi kaum perempuan, biasanya pada siang atau sore hari.

Palembang, ibu kota Provinsi Sumatera Selatan, merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang kaya akan jejak sejarah dan budaya leluhur. Keberadaannya yang erat dengan kejayaan masa lampau menjadikannya sebagai pusat berbagai peninggalan budaya, salah satunya adalah Rumah Limas.

Rumah Limas merupakan rumah adat khas Palembang yang menjadi warisan berharga dari masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya. Rumah tradisional ini bukan hanya memiliki arsitektur yang unik, tetapi juga mengandung nilai historis dan simbolik yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Palembang.

Rumah adat Sumatra Selatan ialah Rumah Limas. Namun sebetulnya selain itu, ada juga rumah lain yang punya ciri khas dan fungsi masing-masing yakni Rumah Rakit, Rumah Gudang, dan Rumah Limas Gudang. Semuanya adalah rumah panggung yang memiliki adaptasi pada kondisi alam Palembang yang dataran rendah dan dipengaruhi pasang surut Sungai Musi.

Rumah Limas dikenal karena corak, bentuk, dan kepadatan seni ukirnya. Adapun perbedaan dengan rumah lainnya, sebagai contoh Rumah Rakit, ialah pada fungsinya. Rumah Rakit biasa dipakai untuk tempat usaha bagi mereka yang beraktivitas di Sungai Musi.

Rumah Limas merupakan rumah adat khas Palembang yang memiliki bentuk atap menyerupai limas dan dibangun dengan struktur rumah panggung. Ciri khas lainnya adalah bangunannya yang bertingkat-tingkat, di mana tiap tingkatan dikenal masyarakat dengan sebutan Bengkalis, yang masing-masing memiliki filosofi tertentu.

Disadur dari laman Portal Informasi Indonesia, rumah ini biasanya memiliki luas antara 400-1000 meter persegi dan kerap dimanfaatkan pemiliknya sebagai tempat penyelenggaraan acara adat dan pernikahan. Material utama yang digunakan dalam pembangunan Rumah Limas adalah kayu.

Pemilihan jenis kayu bukan semata karena faktor kekuatan, tetapi juga didasarkan pada nilai budaya dan kepercayaan lokal masyarakat Sumatera Selatan. Menariknya, jenis-jenis kayu yang digunakan umumnya hanya tumbuh dengan baik di wilayah Palembang, dan dikenal memiliki kualitas unggulan.

Kayu unglen, yang tahan terhadap air dan sangat kokoh, biasanya digunakan sebagai pondasi. Sementara itu, kerangka rumah dibuat dari kayu Seru, jenis kayu langka yang dianggap sakral dan secara budaya tidak boleh diinjak, sehingga tidak digunakan di bagian bawah rumah.

Untuk bagian lantai, dinding, pintu, dan jendela, digunakan kayu Tembesu yang dikenal karena kekuatan serta nilai ekonomis dan ekologisnya. Kentalnya unsur budaya dalam Rumah Limas terlihat dari berbagai ukiran dan hiasan pada dinding, pintu, hingga atap, yang mencerminkan nilai-nilai dan filosofi masyarakat Palembang.

Rumah ini terdiri dari lima tingkatan ruang yang masing-masing diatur berdasarkan prinsip Kekijing, yaitu pembagian ruang menurut usia, jenis kelamin, bakat, pangkat, dan martabat penghuni atau tamu.

Di bagian atap, terdapat ornamen simbar berbentuk tanduk dan bunga melati. Selain fungsi estetika, simbar ini juga berfungsi sebagai penangkal petir. Bunga melati melambangkan kemuliaan dan keharmonisan.

Jumlah tanduk pada simbar pun sarat makna yakni dua tanduk melambangkan Adam dan Hawa, tiga tanduk menyimbolkan matahari, bulan, dan bintang, empat tanduk mewakili sahabat nabi, dan lima tanduk menggambarkan lima rukun Islam.

Secara filosofis, Rumah Limas dibangun menghadap timur dan barat. Arah barat disebut Matoari Edop, bermakna matahari terbit sebagai lambang permulaan hidup. Sementara arah timur dikenal sebagai Matoari Mati, yang berarti matahari terbenam, menjadi simbol dari akhir kehidupan.

Dalam buku Rumah Adat Nusantara oleh Intania Poerwaningtias dan Nindya K Suwarto, Rumah Panggung merupakan rumah adat asal Bangka Belitung. Rumah ini memiliki atap yang tinggi dan terdapat banyak bukaan atau jendela. Pada bagian depan rumah, terdapat sebuah tangga dan beranda yang cukup luas.

Tiang dan lantai rumah terbuat dari kayu, dinding terbuat dari bambu atau kulit kayu, sedangkan atap terbuat dari daun rumbia dan ijuk. Rumah adat ini menggunakan warna asli dari bahan pembuat rumah.

Rumah Panggung merupakan jenis rumah tradisional lain yang mencerminkan perkembangan gaya arsitektur Melayu. Rumah Panggung bergaya Melayu awal biasanya memiliki atap yang tinggi dengan kemiringan yang tidak terlalu curam, menunjukkan adaptasi arsitektur terhadap iklim tropis dan fungsi ruang yang disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat setempat.

Selain Rumah Panggung, Rumah Rakit juga jadi salah satu bentuk rumah adat khas dari Bangka Belitung. Rumah ini dibangun menggunakan bahan utama berupa bambu dan mencerminkan kedekatan masyarakat setempat dengan sungai sebagai sumber penghidupan mereka. Bagi pemilik Rumah Rakit, sungai tidak hanya menyediakan air, tetapi juga menjadi pusat aktivitas ekonomi dan kehidupan sehari-hari.

Keberadaan Rumah Rakit sendiri diyakini berkaitan erat dengan Sungai Musi yang menjadi jalur penting transportasi dan kehidupan masyarakat sejak dahulu. Nama ‘Rumah Rakit’ diberikan karena bentuk bangunannya menyerupai rakit lengkap yang mengapung di atas air. Beberapa sumber juga menyebutkan bahwa rumah ini sudah dikenal sejak masa kejayaan Kerajaan Sriwijaya.

Pada laman YouTube resmi Pemerintah Provinsi Lampung, disebutkan rumah adat Lampung ialah Nuwou Sesat. Namun selain itu terdapat dua rumah adat lainnya yakni Nuwou Balak dan Nuwou Lunik.

Nuwou Sesat atau Sesat Balai Agung, diartikan sebagai balai yang digunakan untuk melakukan berbagai kegiatan adat. Menurut buku Mengenal Seni dan Budaya Indonesia karya R. Rizky dan T. Wibisono, salah satu ciri khas Rumah Adat Nuwou Sesat adalah adanya simbol burung garuda yang menjadi lambang marga dalam masyarakat Lampung. Rumah ini berfungsi utama sebagai tempat musyawarah antarmarga.

Bangunan ini sebagian besar menggunakan kayu sebagai bahan utama, dan dibuat dalam bentuk rumah panggung. Struktur panggung ini berguna untuk menjaga kestabilan saat terjadi gempa serta melindungi penghuni dari serangan binatang buas. Nuwou Sesat merupakan rumah panggung yang terbagi menjadi beberapa fungsi yang berbeda yakni Ijan Geladak, Anjungan, Ruang Paseban, Ruang Tetabuhan, dan Ruang Gajah Merem.

Sementara Nuwou Balak memiliki struktur rumah panggung dengan bahan utama pembuatan rumah berupa kayu yang kerap digunakan untuk dinding. Nuwou Balak disebut juga Balai Keratun yang dihuni oleh para kepala adat dan petinggi. Nuwo Balak terbagi menjadi beberapa area yakni Lawang Kuri, Lapang Agung, Kebik Temen, Kebik Rangek, dan Kebik Tengah.

Lalu ada pula Nuwou Lunik, rumah adat Lampung yang seringkali digunakan oleh masyarakat umum dengan ukuran yang lebih kecil. Dibanding Nuwo Balak, rumah ini lebih sederhana dengan beberapa kamar tidur. Rumah adat Nuwou Lunik tidak mempunyai beranda seperti rumah adat lain. Pada bagian serambi, hanya terdapat sebuah tangga yang letaknya pada bagian pintu masuk yang mengarah pada tanah.

Selain itu, ada Lamban Pesagi yang juga merupakan rumah adat di Lampung, biasanya banyak ditemukan di Lampung Barat. Dikutip dari laman Kemdikbud, rumah Lamban Pesagi merupakan rumah adat yang ditetapkan sebagai situs rumah tradisional Pesagi berdasarkan UU RI No.5 Tahun 1992 oleh Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.

Lamban Pesagi merupakan rumah tradisional masyarakat Lampung yang masih tersisa dan menjadi aset warisan budaya yang harus terus dijaga keberadaannya. Tata ruang di dalam Lamban Pesagi tergolong sederhana, hanya terdiri dari ruang tengah, kamar tidur, dan dapur. Seluruh bangunannya menggunakan material alami seperti kayu dan bambu, dengan atap yang dilapisi ijuk, serta lantai yang terbuat dari pelupuh bambu.

Nah, itulah tadi daftar rumah adat di Sumatra bagian selatan dan keunikan yang ada di dalamnya. Semoga menambah pengetahuanmu, ya!

Daftar Rumah Adat di Sumbagsel

1. Jambi: Kajang Lako

2. Bengkulu: Bubungan Lima

3. Sumatra Selatan (Sumsel): Rumah Limas

4. Kepulauan Bangka Belitung (Kep Babel): Rumah Panggung

5. Lampung: Nuwou Sesat dan Lamban Pesagi