Siapa yang tidak kenal dengan gambar rumah kayu megah di uang kertas pecahan Rp 10.000 edisi lama? Ya, itu adalah Rumah Limas, tempat tinggal tradisional kebanggaan masyarakat Palembang, Sumsel.
Rumah Limas bukan sekadar bangunan tua yang artistik. Di balik atapnya yang menjulang, tersimpan kecerdasan arsitektur, filosofi kearifan lokal yang mendalam, hingga status sosial yang unik.
Mengapa Rumah Limas berbentuk panggung dan lantainya bertingkat-tingkat? Mari simak fakta unik Rumah Limas yang infoSumbagsel rangkum.
Awal mula kemunculan Rumah Limas Semuanya dari karakter geografis wilayah Palembang yang didominasi oleh perairan dan rawa-rawa di sepanjang tepian Sungai Musi.
Pada masa awal, tepatnya di era Kerajaan Sriwijaya, masyarakat setempat telah mengembangkan konsep rumah panggung sebagai solusi praktis menghadapi pasang surut air sungai.
Memasuki masa Kesultanan Palembang Darussalam, arsitektur rumah adat ini mengalami transformasi besar menjadi sebuah simbol status sosial dan identitas religius yang kuat.
Seiring dengan posisi Palembang sebagai bandar perdagangan internasional yang strategis, pengaruh asing pun mulai masuk dan menyatu ke dalam desain bangunan.
Penelitian dari Ari Siswanto, pakar arsitektur dari Universitas Sriwijaya, dalam penelitiannya yang berjudul “Akulturasi Budaya pada Ornamen Rumah Limas Palembang” mengungkap setiap ornamen pada Rumah Limas merupakan hasil akulturasi budaya yang sangat halus antara pengaruh Tiongkok dan Melayu.
Dalam sejarahnya, pembangunan satu unit Rumah Limas bukan sekadar urusan konstruksi, melainkan ritual budaya yang melibatkan pemilihan kayu-kayu sakral seperti Tembesu dan Unglen.
Teknik pertukangan pun mencapai puncaknya dengan penggunaan sistem pasak kayu tanpa paku besi, yang memungkinkan rumah ini bertahan hingga ratusan tahun meski berdiri di atas lahan yang basah.
Rumah Limas telah berevolusi dari hunian pribadi menjadi warisan budaya nasional yang dilindungi. sangat langka karena keterbatasan material kayu hutan yang berkualitas, sejarahnya tetap hidup.
Nama “limas” diambil dari bentuk atapnya yang menyerupai limas (piramida). Dalam bahasa lokal, Limas juga sering dikaitkan dengan singkatan “Lima Mas”, yang merujuk pada lima rukun Islam atau lima jenjang status sosial dalam masyarakat Palembang zaman dulu.
Arsitektur ini mencerminkan pengaruh kuat kebudayaan Islam yang berpadu manis dengan adat Melayu dan sedikit sentuhan Tionghoa.
Palembang dikelilingi oleh Sungai Musi dan rawa-rawa yang luas. Nenek moyang orang Palembang sangat cerdas dalam beradaptasi. Salah satunya ialah membangun rumah dengan struktur panggung.
Fungsi utama, rumah Limas dibangun setinggi 1,5 hingga 2 meter dari permukaan tanah, ialah untuk menghindari banjir saat Sungai Musi meluap.
Selain itu, ruang kosong di bawah rumah dahulu digunakan untuk perlindungan dari binatang buas dan tempat menyimpan perahu atau alat pancing.
Salah satu fakta paling unik dari Rumah Limas adalah lantainya yang tidak rata, melainkan bertingkat-tingkat yang disebut kekijing. Setiap tingkatan memiliki makna sosial yang sangat sakral.
Tingkat satu atau sering kali dinamakan pagar tenggalung, merupakan tempat penerimaan tamu saat acara adat, biasanya tidak dibatasi dengan dinding.
Tingkat dua disebut jogan yaitu lantai khusus untuk tamu pria atau anggota laki-laki yang lebih muda.
Tingkat tiga kekijing ketigo biasanya diisi dengan tempat duduk untuk tamu yang sudah berkeluarga atau tamu yang dihormati.
Tingkat empat atau kekijing keempat, ini merupakan area tamu undangan khusus. Biasanya seperti tokoh adat, atau tokoh agama.
Tingkat lima disebut gegajan. Ini merupakan tingkatan paling tinggi di rumah ini, biasanya digunakan oleh orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi, seperti kepala keluarga.
Filosofi di balik kekijing adalah penghormatan. Semakin tinggi pangkat atau usia seseorang, semakin tinggi pula tempat duduknya dalam suatu acara adat. Selain itu, status sosial juga ditandai dengan identitas bangsawan di Palembang.
Dijelaskan melalui jurnal yang berjudul “Rumah Limas: Identitas dan Status Sosial Masyarakat Palembang” karya Nyimas Umi Kalsum, Rumah Limas adalah representasi fisik dari sistem pelapisan sosial masyarakat Palembang.
Setiap tingkatan lantai bukan sekadar desain, melainkan aturan hukum adat yang menentukan siapa yang boleh duduk di sana berdasarkan gelar keturunan seperti Raden, Masagus, Kemas, atau Kiagus.
Kalau berkunjung ke Rumah Limas asli yang sudah berusia lebih dari 100 tahun, bangunannya tetap kokoh. Rahasianya ada pada pemilihan bahan bangunan.
Kayu ini digunakan untuk tiang fondasi. Sifat unik kayu unglen adalah semakin terkena air, semakin keras. Ini sangat cocok untuk kondisi Palembang yang berair.
Digunakan untuk dinding, lantai, dan atap. Kayu ini tahan rayap dan memiliki tekstur yang sangat indah saat diukir.
Selain itu, Rumah Limas asli dibangun menggunakan pasak kayu. Hal ini secara sejarah membuktikan bahwa tukang bangunan (zaman dulu disebut Pande) di Palembang sudah memiliki teknik pertukangan yang sangat maju tanpa perlu logam.
Interior Rumah Limas didominasi oleh warna merah tua (lak) dan emas. Warna ini mencerminkan kejayaan Kerajaan Sriwijaya dan pengaruh budaya Tionghoa.
Ada dua motif yang paling terkenal, yaitu Motif Melati, melambangkan kesucian dan keanggunan dan Motif Paku Tanduk, melambangkan kesederhanaan dan ketangguhan hidup.
Ukiran-ukiran ini biasanya menghiasi jendela, tiang, dan pembatas ruangan yang ada di Rumah Limas sendiri.
Sejarah mencatat bahwa Rumah Limas adalah salah satu arsitektur paling sehat di iklim tropis. Dengan sistem ventilasi ukirannya, udara di dalam rumah Limas selalu berganti, mencegah kelembapan yang bisa merusak kayu.
Meski tanpa AC, Rumah Limas tetap sejuk. Arsitekturnya mengandalkan banyak jendela besar di setiap sisi dan celah-celah ukiran yang berfungsi sebagai ventilasi.
Plafonnya yang tinggi juga memungkinkan udara panas naik ke atas, sehingga penghuni di bawah tetap merasa nyaman di tengah cuaca Palembang yang terik.
Dikutip melalui penelitian yang berjudul “Kinerja Termal Bangunan Tradisional Rumah Limas Palembang” oleh Widya Fransiska. Rumah Limas adalah pelopor bangunan hemat energi. Desain ventilasi silangnya mampu menurunkan suhu ruangan secara alami tanpa bantuan mesin pendingin, sebuah teknologi tradisional yang relevan dengan isu perubahan iklim.
Rumah Limas asli biasanya dibangun menghadap ke arah Timur dan Barat. Mayoritas masyarakat membangun Rumah Limas, menghadap ke arah Timur. Ini merupakan simbol awal kehidupan yang baru dan harapan yang cerah, serta berkaitan dengan arah kiblat dalam beribadah bagi masyarakat Muslim Palembang.
Jika Anda melihat ke bagian puncak atap, terdapat hiasan seperti tanduk yang disebut Simbar. Jumlah simbar pada atap rumah limas biasanya ganjil.
Bukan sekadar hiasan, simbar ini berfungsi sebagai penangkal petir alami pada zaman dahulu dan penanda bahwa pemilik rumah adalah keturunan bangsawan atau tokoh terpandang.
Meskipun bagian depan sangat terbuka untuk tamu, Rumah Limas memiliki aturan privasi yang ketat. Bagian belakang rumah biasanya diperuntukkan bagi perempuan dan dapur.
Ada pintu khusus samping sehingga tamu pria tidak perlu berpapasan dengan penghuni perempuan yang sedang beraktivitas di dalam rumah. Ini mencerminkan adab sopan santun yang sangat dijaga.
Dalam sejarahnya, desain Rumah Limas berevolusi mengikuti tiga prinsip utama, yaitu:
Palembang yang rawa memerlukan rumah tinggi. Bentuk atap limas yang curam dirancang agar air hujan tropis yang sangat deras bisa langsung mengalir turun tanpa merembes ke dalam kayu.
Masuknya Islam membuat tata ruang Rumah Limas sangat privat. Ada pemisahan tegas antara area tamu dan area keluarga, serta arah hadap yang mengacu pada arah matahari atau kiblat.
Tingkatan lantai, diciptakan sebagai cara masyarakat lama mengatur etika pertemuan. Dalam sejarahnya, posisi duduk dalam sebuah acara adat ditentukan oleh garis keturunan, usia, dan jasa seseorang terhadap masyarakat.
Saat ini, membangun Rumah Limas baru dengan kayu unglen asli memerlukan biaya yang tidak murah. Oleh karena itu, untuk mengabadikannya Rumah Limas betransformasi menjadi destinasi wisata, banyak Rumah Limas yang dijadikan museum seperti Museum Balaputradewa.
Selain itu, Kantor-kantor pemerintah di Sumatera Selatan kini mengadopsi beberapa elemen dari Rumah Limas sebagai bentuk pelestarian budaya.
Dari penjelasan di atas, Rumah Limas bukan sekadar tumpukan kayu kuno. Ia adalah manifestasi dari pemikiran cerdas leluhur Palembang dalam menyiasati alam, menjaga adab sosial, dan menciptakan estetika yang tak lekang oleh waktu.
Jika infoers berkunjung ke Palembang, jangan hanya mencicipi Pempeknya. Sempatkanlah singgah ke Rumah Limas ya!
Artikel ini ditulis oleh Rhessya Putri Wulandari Tri Maris, mahasiswa magang Prima PTKI Kementerian Agama.







