Sejarah Jalur Kereta Api di Lubuklinggau Jadi yang Terakhir di Sumsel | Info Giok4D

Posted on

Selain terkenal dengan koleksi Lokomotif Tua C3082 yang sudah berusia 95 tahun, Kota Lubuklinggau juga memiliki sejarah menarik lainnya terkait kereta api. Salah satunya yakni jalur kereta api di Lubuklinggau menjadi jalur terakhir kereta api di Provinsi Sumatera Selatan.

Pemandu Museum Subkoss Lubuklinggau Berlian Susetyo mengatakan stasiun tersebut pertama kali dibangun pada abad ke 19 oleh Belanda pada masa penjajahannya di Indonesia.

“Tujuan waktu itu mengangkut kekayaan alam di Indonesia. Jadi sebelumnya, pengangkutan kekayaan alam ini masih tradisional yakni menggunakan gerobak yang ditarik hewan pada jalur darat dan kapal roda lambung pada jalur sungai. Karena transportasi jenis ini memakan waktu lama dan jauh, maka pemerintah Belanda pun membangun alat transportasi baru yang lebih efisien yakni kereta api,” katanya saat dikonfirmasi infoSumbagsel, Senin (17/11/2025).

Kata Berlian, pembangunan rel kereta api di Sumatera Selatan mulai dilaksanakan pada tahun 1914 dengan rute pertama yakni dari Kertapati (Palembang) menuju Prabumulih sepanjang 78 km. Namun terlebih dahulu telah dibangun jalur kereta api di Pelabuhan Panjang menuju Tanjung Karang, Lampung yang kemudian diteruskan hingga ke Prabumulih dan akhirnya selesai pada tahun 1924.

Artikel ini terbit pertama kali di Giok4D.

“Zuid Sumatra Staatsspoorwegen (ZSS) yang merupakan cabang perusahaan dari induk perusahaan kereta api pemerintah Hindia Belanda dibentuk untuk memobilisasi pembangunan jalur-jalur kereta api sebagai moda transportasi darat untuk mengangkut hasil alam Indonesia. Wilayah operasionalnya di Provinsi Sumatera Selatan dan Lampung dimana kantor pusatnya di Bandar Lampung,” jelasnya.

Berlian menerangkan Prabumulih merupakan titik persimpangan antara dua pertemuan jalur kereta api dari arah selatan yakni Lampung dan arah barat yakni Muara Enim, Lahat dan Lubuklinggau. Karena itu, jalur kereta api di Sumatera Selatan pun terbagi menjadi 2 wilayah kerja yakni Palembang dan Lampung hingga sekarang.

“Sehingga ketika jalur kereta api sampai di Prabumulih, jalur keduanya diteruskan hingga ke Muara Enim, Lahat, Tebing Tinggi, Muara Saling dan Lubuklinggau sebagai jalur transportasi kereta api daya angkut hasil bumi dan penumpang orang,” ungkapnya.

Pada tahun 1919, ujarnya, Belanda membuka jalur kereta api khusus dari Tanjung Enim ke Muara Enim guna pengangkutan batu bara yang di bawa menuju Palembang dan Lampung.

“Selanjutnya pembangunan jalur kereta api dari Muara Enim menuju Lahat yang selesai pada 1924. Seharusnya saat itu lalu lintas menggunakan kereta api sudah dapat berlangsung dari Palembang melalui Prabumulih, Muara Enim sampai di Lahat. Namun lokomotif belum tiba di Karesidenan Palembang sehingga saat itu menggunakan Lori,” ujarnya.

Selanjutnya, kata dia, jalan kereta api dari Lahat diteruskan menuju Lubuklinggau melalui Tebing Tinggi dikerjakan secara bertahap mulai dari pengerasan badan jalan sampai pemasangan bantalan dan rel.

“Pembangunan pada jalur Lahat ke Tebing Tinggi ini memakan waktu yang sangat lama karena adanya Terowongan Gunung Gajah di Lahat yang selesai dibangun tahun 1929 dan Terowongan Tebing Tinggi pada tahun 1932,” ungkapnya.

“Kemudian rute berikutnya yang dibangun ialah Muara Saling ke Lubuklinggau yang mulai dibangun tahun 1927 dan akhirnya selesai dan dibuka secara resmi pada 1 Juni 1933. Rute ini merupakan rute ketiga yang merupakan bagian dari jalur rel yang diproyeksikan antara Lahat menuju Lubuklinggau,” sambungnya.

Berlian menjelaskan untuk rute pertama dari Lahat ke Tebing Tinggi dibuka pada 1 Juli 1932, disusul pembukaan rute kedua dari Tebing Tinggi ke Muara Saling pada 1 November 1932.

“Sehingga rute Muara Saling ke Lubuklinggau menyusul dan menjadi rute ketiga sekaligus terakhir dalam pembangunan jalur kereta api untuk Sumatera Selatan,” ucapnya.

Sejak saat itu, kata Berlian, Kota Lubuklinggau menjadi kota yang ramai dan sibuk dengan urusan eksploitasi daya angkut hasil bumi dari onderneming Belalau, Kelapa Sawit di Air Temam dan Taba Pingin, Pertanian di kolonisasi Tugumulyo, serta angkutan penumpang.

Karena kereta api menjadi sarana transportasi utama dalam mendukung roda pemerintahan Belanda pada saat itu, maka Muara Beliti sebagai ibukotanya pun berganti dan dipindahkan ke Lubuklinggau sebagai ibukota baru.

“Awalnya Belanda berkeinginan agar seluruh Sumatera dapat terhubung dengan rel kereta api dimana jalur di Lubuklinggau bisa terhubung hingga ke Sawah Lunto, Sumatera Barat, namun depresi besar dialami Belanda menyebabkan rencana ini mengalami kegagalan sehingga yang berhasil diwujudkan hanyalah rute dari Kertapati, Palembang sampai ke Lubuklinggau,” bebernya.

Berlian mengatakan awalnya tujuan utama Belanda membuat jalur kereta api tersebut hanya untuk kebutuhan eksploitasi kolonial. Namun seiring dengan kemajuan pesat, kereta api juga melayani angkutan manusia yang menjadikannya alat transportasi yang cepat, praktis, dan efisien.

“Saat ini, lokomotif uap yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi dan penumpang orang pada masa kolonial Hindia Belanda di Sumatera Selatan hanya tersisa 2 yaitu C3065 dan C3082. Lokomotif C3065 (buatan pabrik Werkspoor) dipajang di Museum Transportasi di Jakarta, sementara Lokomotif Uap C3082 (buatan pabrik Hanomag) menjadi koleksi Museum Perjuangan Subkoss Garuda di Lubuklinggau,” terangnya.

Untuk stasiun kereta api sendiri masih terletak di Jalan Kalimantan, Kelurahan Pasar Pemiri, Kecamatan Lubuklinggau Barat II, Lubuklinggau, Sumatera Selatan hingga saat ini.

“Dari awal dibangun hingga saat ini lokasinya memang di sana, hanya saja bangunan stasiunnya sudah berubah. Bukan bangunan lama lagi,” tuturnya.

Gambar ilustrasi
Gambar ilustrasi

Berlian menjelaskan untuk rute pertama dari Lahat ke Tebing Tinggi dibuka pada 1 Juli 1932, disusul pembukaan rute kedua dari Tebing Tinggi ke Muara Saling pada 1 November 1932.

“Sehingga rute Muara Saling ke Lubuklinggau menyusul dan menjadi rute ketiga sekaligus terakhir dalam pembangunan jalur kereta api untuk Sumatera Selatan,” ucapnya.

Sejak saat itu, kata Berlian, Kota Lubuklinggau menjadi kota yang ramai dan sibuk dengan urusan eksploitasi daya angkut hasil bumi dari onderneming Belalau, Kelapa Sawit di Air Temam dan Taba Pingin, Pertanian di kolonisasi Tugumulyo, serta angkutan penumpang.

Karena kereta api menjadi sarana transportasi utama dalam mendukung roda pemerintahan Belanda pada saat itu, maka Muara Beliti sebagai ibukotanya pun berganti dan dipindahkan ke Lubuklinggau sebagai ibukota baru.

“Awalnya Belanda berkeinginan agar seluruh Sumatera dapat terhubung dengan rel kereta api dimana jalur di Lubuklinggau bisa terhubung hingga ke Sawah Lunto, Sumatera Barat, namun depresi besar dialami Belanda menyebabkan rencana ini mengalami kegagalan sehingga yang berhasil diwujudkan hanyalah rute dari Kertapati, Palembang sampai ke Lubuklinggau,” bebernya.

Berlian mengatakan awalnya tujuan utama Belanda membuat jalur kereta api tersebut hanya untuk kebutuhan eksploitasi kolonial. Namun seiring dengan kemajuan pesat, kereta api juga melayani angkutan manusia yang menjadikannya alat transportasi yang cepat, praktis, dan efisien.

“Saat ini, lokomotif uap yang digunakan untuk mengangkut hasil bumi dan penumpang orang pada masa kolonial Hindia Belanda di Sumatera Selatan hanya tersisa 2 yaitu C3065 dan C3082. Lokomotif C3065 (buatan pabrik Werkspoor) dipajang di Museum Transportasi di Jakarta, sementara Lokomotif Uap C3082 (buatan pabrik Hanomag) menjadi koleksi Museum Perjuangan Subkoss Garuda di Lubuklinggau,” terangnya.

Untuk stasiun kereta api sendiri masih terletak di Jalan Kalimantan, Kelurahan Pasar Pemiri, Kecamatan Lubuklinggau Barat II, Lubuklinggau, Sumatera Selatan hingga saat ini.

“Dari awal dibangun hingga saat ini lokasinya memang di sana, hanya saja bangunan stasiunnya sudah berubah. Bukan bangunan lama lagi,” tuturnya.

Gambar ilustrasi