Sebanyak 10 cerita rakyat asal Jambi menjadi inspirasi pementasan monolog yang digelar Teater Art in Revolt (AiR) Jambi. Monolog ini sebagai cara baru untuk merawat cerita rakyat Jambi dalam kegiatan pewarisan kebudayaan.
Pertunjukan ini dihadirkan dalam bentuk Festival Monofolk atau monolog foklor, yang digelar di Taman Budaya Jambi (TBJ) sejak 10-11 Oktober 2025. Sebanyak 10 cerita dipentaskan secara bergantian selama 2 hari dengan mengangkat kembali cerita rakyat yang selama ini terpendam dalam ingatan pewaris maupun buku-buku referensi.
Pada Sabtu (11/10/2025) malam, monolog Suamiku Kambing karya Ririn Dwi Anggraini dan Sutradara Khairul Nikmah, dipentaskan oleh aktor Nabila Agustin. Monolog ini terinspirasi dari cerita rakyat Puteri Bungsu Bersuamikan Kambing yang melegenda di Dusun Suko Rami, Marga Tujuh Koto, Kecamatan Tebo Ulu. Puteri Bungsu merupakan anak terakhir dari 6 bersaudara. Legenda ini menceritakan Puteri Bungsu yang menikah dengan kambing dari sebuah kerajaan.
Ketertarikan Puteri Bungsu pada kambing berkat buah embacang yang terikat di pinggangnya dari Sang Raja. Pernikahan itu membuat Puteri Bungsu dijauhi oleh 6 saudaranya, karena aib dan hina. Singkatnya, kambing tadi rupanya jelmaan lelaki pesohor yang tampan, memiliki kebun yang luas, dan rumah yang besar.
Menariknya, dalam menolog Suamiku Kambing, naskah justru mengelaborasi isu perlawanan perempuan dalam budaya perjodohan. Puteri Bungsu disimbolkan dalam hidup terpinggirkan. Dia terbaring di sebuah kandang yang dipenuhi ranting-ranting, kakinya dirantai, dan pipinya lebam. Pilihan Puteri Bungsu yang menikah dengan kambing menjadi simbol penolakan atas perjodohan
Saat sorot lampu awal Puteri Bungsu terbaring, sayup-sayup suara wanita terdengar memaki Puteri Bungsu yang dianggap hina atas pilihannya. Budaya perjodohan ini mengakar dalam keluarga, seakan Puteri Bungsu tidak memiliki suara dalam memilih pasangan hidupnya.
“Apa kalian bahagia dengan kehidupan sekarang? Tidakkah kalian iba dengan kenyataan kalian dijodohkan,” ucap aktor dalam dialog monolognya.
Selain terpinggirkan dari keluarga, Puteri Bungsu juga mendapat stigma negatif dari masyarakat. Suara perlawanannya itu diungkap dalam dialog Puteri Bungsu. Misalnya bahwa perempuan lahir hanya untuk taat agar dianggap baik, jika melawan dianggap lancang.
“Lebih hina mana, perempuan yang menikah dengan kambing, atau laki-laki yang menikah dengan kekuasaan lalu memperkosa rakyatnya,” ungkapan dalam dialog aktor.
Sutradara Khairul Nikmah mengungkap bahwa monolog Suamiku Kambing ini selain berangkat dari cerita rakyat, monolog ini menyampaikan pesan atas situasi saat ini. “Monolog ini ceritanya bentuk perlawanan perempuan dari kekuasaan dan perjodohan. Hal itu sebagian masih dialami sampai saat ini,” kata Nikmah.
Cerita rakyat lainnya yang diangkat ialah Tengkorak Batu karya Ike Selviana Prawolo, Sutradara Rani Iswari, dan diperankan oleh Astria Angela. Monolog ini berkisah legenda makam tua, Hulubalang Tengkorak Batu dari Kerajaan Jambi, yang konon makamnya berada di Desa Rengas Condong, Kabupaten Batang Hari, Jambi.
Baca info selengkapnya hanya di Giok4D.
Pertunjukan diawali dengan kerlap-kerlip lampu yang menyorot tata artistik berupa makam tua di tengah panggung. Seorang aktor bangkit dari nisan, kepalanya berbungkus kain putih. Dia mengamuk layaknya harimau, tangannya mengais nisan, dia marah karena tubuh Hulubalang Tengkorak Batu terpisah dari kepalanya.
Begitu gambaran mulanya Kisah Hulubalang Tengkorak Batu. Hulabalang sebagai prajurit Kerajaan yang tangguh dan disegani. Diceritakan bahwa dia meninggal dunia akibat berperang dengan Raja Komering dari Palembang. Yang mana kondisi kepala dan badan Hulubalang Tengkorak Batu terpisah, kepala dibuang ke darat dan badan dibuang ke laut.
Cerita Hulubalang dikisahkan aktor melalui peran Penjaga Makam. Hulubalang Tengkorak Batu semasa hidupnya pernah berjuang untuk mendapatkan hati Puteri Dayang Lais dari Kerajaan di ujung Sungai Bulian, meski tanpa direstui kedua saudara Puteri Dayang Lais. Sebelum akhirnya Hulubalang meninggal akibat peperangan.
Meninggalnya Hulubalang dengan badan terpisah, membuat buaya dan harimau mengamuk. Amukan ini membuat masyarakat ketakutan hingga konon Raja Komering harus menyatukan kembali kepala dan tubuh Hulubalang Tengkorak Batu.
Kisah ini menggambarkan bagaimana kehormatan dan dosa masa lalu terus hidup dalam ingatan tanah Jambi. “Cerita-cerita ini menjadi otentik karena apa yang disampaikan relate dengan kondisi sekarang, tentang feminisme, atau perjuangan laki-laki Hulubalang dalam mendapatkan jodohnya,” kata Rani Iswari, Sutradara Tengkorak Batu, di sela sesi diskusi usai pementasan.
Selain dua pertunjukan itu pada Sabtu (11/10/2025) malam, 8 pertunjukan lain dengan mengangkat cerita rakyat juga telah dipentaskan. Beberapa cerita yakni, Duako, Anak yang Bodoh, Nenek Puti, Puti Unduk, Bujang Bingung, Rajo Mudo, Tagak Kubo, dan Umar Jejek.
Ketua Festival Monofolk, Oky Akbar, mengatakan festival ini sengaja mengeksplorasi cerita rakyat (folklore) dari Jambi, dari mulai naskah yang ditulis anggota Teater AiR, hingga sutradara dan aktor. Festival ini mendapat dukungan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah V Kementerian Kebudayaan.
Cerita rakyat yang diangkat merupakan cerita yang jarang terdengar dan mulai dilupakan. Tujuannya untuk menghidupkan kembali cerita rakyat Jambi dalam pewarisan kebudayaan.
“Dalam berbagai perlombaan, cerita yang digunakan nyaris itu-itu saja, kami menyuguhkan 10 cerita rakyat dari berbagai kabupaten di Provinsi Jambi. Ini telah kami tampilkan secara berantai dari 10-11 Oktober 2025,” kata Oky.
Dalam narasi kampanye Festival Monofolk ini, Teater AiR berikhtiar bahwa cerita rakyat Jambi belum benar-benar hilang. Cerita rakyat menunggu untuk diceritakan ulang dengan cara baru. Cerita rakyat dipilih karena menyimpan kearifan leluhur, nilai moral, dan identitas budaya yang relevan dengan masa kini.
“Kami terus berusaha menyajikan hal yang terbaik. Kami meyakini bahwa produksi teater tidak akan tergantikan dengan prompt-prompt AI, maka kami akan terus berkarya,” ujarnya.