12 Perkara Hukum di Kejati Jambi Dihentikan Lewat Restorative Justice

Posted on

Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jambi mencatat ada 12 perkara pidana di wilayah hukum Jambi resmi dihentikan melalui mekanisme restorative justice. Hal ini sebagai upaya menunjukkan komitmennya dalam mengedepankan penyelesaian hukum yang berkeadilan dan humanis.

Kasi Penkum Kejati Jambi, Nollywijaya menyebut penghentian perkara tersebut dilakukan setelah seluruh unsur terpenuhi, mulai dari kesepakatan damai antara pelaku dan korban, hingga pertimbangan dampak sosial yang lebih luas.

“Ini upaya kita karena tidak semua perkara hukum itu diselesaikan dengan cara tuntutan penjara, hukum tidak semata memberi efek jera, tetapi juga harus menyelesaikan persoalan dengan cara yang menghadirkan ketenteraman dan keadilan substansial bagi masyarakat,” kata Nolly, Selasa (2/12/2025).

Saat ini, ada 1 perkara hukum baru yang diselesaikan dengan cara Restorative Justice. Perkara ini adalah kasus penganiayaan, yang mana permohonan penanganan perkara berdasarkan keadilan restoratif atas nama tersangka Gilang Fahrozi dari Kejaksaan Negeri Bungo.

Sampai bulan Desember tahun 2025 Jumlah Restoratif Justice di Kejaksaan Tinggi Jambi sebanyak 12 perkara. Bahkan, 12 kasus perkara ini adanya kesepakatan damai antara pelaku dan korban tanpa dampak yang ditimbulkan serta disetujui oleh Jampidum Kejaksaan RI bersama jajaran Kejaksaan Tinggi Jambi.

Adapun 12 kasus perkara yang selesai lewat Rj selama 2025 ini sebagian besar berasal dari kasus-kasus seperti perkara pencurian ringan 3 kasus lalu penganiayaan ringan dengan jumlah kasus 3 kasus. Lalu perkara narkotika ada 5 perkara yang mana mereka adalah pengguna, serta perkara Lakalantas ada 1 perkara.

“Semua ini masuk dalam perkara Hukum ringan yang mana tuntut tidak melebihi 5 tahun penjara. Restorative Justice ini juga bentuk langkah ke depan kita mengedepankan sisi hukum berkeadilan. Apalagi semua penyelesaian dilakukan dengan cara damai,” terang Nolly.

“Untuk perkara narkoba juga mereka masuk dalam kategori pemakai yang jadi korban dan dilakukan rehabilitasi. Serta buat Lakalantas tidak memakan korban jiwa dan juga berakhir damai,” lanjut Nolly.

Nolly juga menyebut, untuk kasus perkara pencurian ini juga diketahui merupakan pencurian dengan bernilai kecil. Apalagi pencurian itu setelah ditelusuri didasari karena faktor ekonomi yang mana untuk kebutuhan keluarganya.

Nolly menegaskan, pendekatan restorative justice bukan berarti hukum menjadi tumpul, namun memberikan ruang penyelesaian yang lebih mengedepankan pemulihan dan keharmonisan sosial.

“Dengan mekanisme ini, pelaku yang menyesali perbuatannya dapat kembali ke masyarakat tanpa harus menjalani proses peradilan berkepanjangan,” ucap Nolly.

Sementara itu, Kajati Jambi, Sugeng Hariadi mengatakan Restorative Justice merupakan langkah progresif dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Yang mana terang Sugeng Rj bertujuan tidak hanya untuk menegakkan hukum, tetapi juga menciptakan harmoni sosial dan keadilan yang lebih berkeadaban.

“Jadi tidak semua kasus bisa kita selesaikan ke meja hijau. Kasus yang dilanjutkan ke meja hijau bukan solusi terbaik karena justru berpotensi memunculkan masalah sosial baru jika perkara itu ringan dan tidak berdampak besar,” kata Sugeng.

Setiap keputusan restorative justice, kata Sugeng, juga selalu melibatkan forum musyawarah antara pelaku, korban, tokoh masyarakat dan jaksa.

Sugeng juga menyebut penghentian perkara lewat RJ akan terus diperluas sejalan dengan kebijakan Kejaksaan Republik Indonesia. Langkah ini diharapkan menjadi instrumen efektif untuk menciptakan rasa keadilan substantif.

“Ini juga mencegah penuh sesaknya lembaga pemasyarakatan, sekaligus memperkuat harmonisasi sosial di tengah masyarakat,” tegas Sugeng.